Mengenal Wacinwa : Dilahirkan Peranakan Cina yang Senang dengan Wayang
Wacinwa atau Wayang Cina Jawa mungkin tidak familiar di banyak telinga. Meski begitu, dalam kalangan dalang, jenis wayang satu ini sama-sama berharga sebagai bentuk budaya. Sesuai namanya, wayang ini memiliki unsur Cina. Kalau begitu, mari kita bahas mengenai bagaimana mulanya wayang ini tercipta!
Akulturasi Jawa dan Cina
Wayang ini mengandung banyak sekali konsep peleburan antara kebudayaan dua etnis. Perbedaan wacinwa dengan wayang purwa juga sekaligus menyimpan kesamaan, salah satu yang sama adalah musik yang digunakan yakni gamelan, pakem pembuatan seperti wayang klasik dari kulit, kekayon, adanya emban, dan kelirnya. Namun, yang unik dan berbeda dari wacinwa adalah lakon yang diceritakan mengambil kisah-kisah kepahlawanan serta bentuk visual yang khas seperti tokoh pekerja kerajaan hingga raja dengan sanggul rambut.
Dalam pentas wacinwa juga terdapat sinden yang menjadi bagian pelantun irama. Tekniknya bernyanyinya sendiri masih cukup mirip, misalnya teknik abon-abon yang juga dilakukan dalam pengiringan wayang klasik pada umumnya.
Sosok Gan Thwan Sing
Perjalanan terciptanya wacinwa adalah bagian hidup dari Gan Thwan Sing yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya dengan seni. Lahir pada 1885 di Jatianom, dirinya dididik dengan beragam kemampuan membaca dan sastra rakyat Cina dari kakeknya. Dengan cerita rakyat Cina, ia juga senang dengan seni bercerita hingga menelaah banyak lakon-lakon yang terkenal hingga cukup dalam.
Di awal abad ke-20, dirinya melakukan kehidupan baru dengan pindah ke Yogyakarta. Keputusan ini dilakukan untuk mencari pengalaman. Selama menggali ilmu di Jogja, ia ikut berkeliling untuk pentas teater hingga belajar mendalami seni pedalangan. Di Jogja juga, kemampuan berbahasa Jawanya meningkat sehingga mempermudah praktik pementasan wayang yang diakulturasikan dengan cerita Cinanya.
Disponsori Pengusaha
Setelah yakin dengan kemampuannya, ia kemudian menemui Oey See Toan yang memiliki usaha besar sekaligus sosok pecinta seni pertunjukkan. Menarik hati Oey See Toan, pengusaha itu kemudian membiayai kebutuhan pembuatan set wayang yang dicetuskan Gan Thwan Sang. Dengan bahan kulit kerbau, terciptalah kurang lebih 200 wayang yang sebagian kecilnya dibuat dari kertas.
Untuk bahan literatur sekaligus menyimpan kisah-kisah lakon dalam bentuk buku, dirinya membuat buku lakon. Sama seperti pakem Jawa yang membuat “kitab” dalam kisah-kisah yang akan dibawakan dalam pementasan.
Banyaknya buku lakon yang sudah ditulis olehnya tak dapat dipastikan jumlahnya, namun ditemukan sekitar 14 buku lakon yang berhasil diidentifikasi. Beberapa mungkin belum dikembalikan saat dipinjam, dan dugaan lain mungkin ikut diabukan saat prosesi pemakaman.
Kini Terus Dilestarikan, Tak hanya oleh Peranakan
Hingga saat ini, wacinwa juga masih kerap dipentaskan. Salah satu dalang yang memainkan wayang jenis ini adalah Ki Aneng Kiswantoro dalam “Mawayang 2024” di Sleman. Wacinwa dimaknai bukan sebagai budaya asing, melainkan perpaduan yang menghasilkan pembaharuan bukti toleransi.
Anda sudah pernah melihat pentas wacinwa? Jangan lupa abadikan momen menonton Anda, karena pagelaran wayang adalah hal yang cukup langka!