Menelusuri Dinding Megah Kotagede

Klang! Suara permata dari perut bumi ditempa, dihantam keras dengan palu kecil di atas paron (alas untuk memukul perak). Hati-hati, karena mungkin saja Anda lapar mata untuk merias diri dengan perhiasan perak yang umum dijual di sekitar Kotagede. Wilayah ini sejak Mataram Islam memang menjadi pusat pembuatan dan pengembangan banyak produk perak.

 Sebenarnya, Kotagede memang sudah lama bahkan dikenal luas sebagai Jewelry of Jogja. Tetapi, kali ini Bakpiaku ingin melihat sisi lain yang terdapat di Kotagede selain pembuatan perhiasan cantik perak, yakni menelusuri dinding-dinding megahnya. Bangunan besar yang dibangun dengan bata kokoh seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya sanggup tetap berdiri meski usianya sudah ratusan tahun.

Pasar Lawas Mataram di Masjid Kotagede

Bakpiaku memulainya dari Masjid Kotagede, yang kebetulan bertepatan dengan digelarnya Pasar Lawas Mataram. Bila Anda masuk ke dalamnya, akan terasa perpaduan budaya yang sangat kental, bisa menebaknya? Yap, bangunan dan pagar yang kontras. Mengapa hal ini sangat berbeda, sebab sejak pembuatannya pada 1578 silam umat Muslim ditugaskan untuk membangun masjidnya, sedangkan umat Hindu berpartisipasi membangun pagar yang tentunya memiliki bentuk bangunan seperti pura. Menarik bukan?

Papan Masjid Besar Mataram Kotagede

Halaman masjid dan pagar yang berbentuk pura. Sumber : budaya.jogjaprov.id

Monggo kak…” para pedagang di Pasar Lawas Mataram menawarkan dagangannya.

“Apa ini ya bu?” tanya Bakpiaku.

“Kipo kak, khas Kotagede. Sudah pernah coba?” tawarnya lagi.

Tak ingin berlama-lama penasaran, Bakpiaku memesan 1 porsi kipo untuk merasakan panganan asal Kotagede tersebut. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat kipo adalah tepung ketan, santan, dan pasta pandan lalu diisi dengan enten-enten atau campuran kelapa dan gula merah yang dimasak. Meski terlihat seperti klepon, proses masaknya adalah dengan dipanggang.

Replika kipo di Museum Introliving Kotagede. Sumber : budaya.jogjaprov.id

Pasar Lawas Mataram tak hanya menjual kue-kue tradisional saja, cukup banyak yang dijajakan di sini mulai dari sate klatak hingga mainan tradisional. Banyaknya pilihan permainan yang dapat dikoleksi mengingatkan kita pada masa kecil yang didominasi bahan kayu.

Sate klatak di Pasar Lawas Mataram

Yoyo hingga otok-otok dijual di Pasar Lawas Mataram

Menyusuri Makam Raja Kotagede

Setelah menghabiskan kipo kurang dari 5 menit, Bakpiaku melanjutkan berjalan menyusuri Makam Raja Kotagede. Hanya berjarak 180 meter dari Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Bakpiaku sampai di dalam makam. Untuk masuk ke dalam, Anda perlu mengisi buku registrasi di pendopo yang dijaga oleh bagian pengelola.

Tak ada perasaan menyeramkan, bahkan banyak sesi foto yang dilakukan di sekitar makam. Mulai dari agenda foto keluarga, dokumentasi bersama rekan, hingga prewedding. Oh iya, apakah Anda sempat melihat konten di sosial media mengenai salah satu hewan yang hidup di dalam makam ini? Lele putih.

Jangan dulu bergidik, Bakpiaku mencoba untuk menelaah dari segi sejarah. Konon, lele ini berasal dari panggilan anak laki-laki di Jawa “Le..! Le..!”, begitulah hingga akhirnya lele ini dipelihara di dalam sendang yang terletak di dalam makam. Sebab, dulu Kanjeng Panembahan Senopati adalah sosok yang selalu merasa kecil meski dirinya adalah seorang raja. Perihal mengapa warnanya yang putih, disebut-sebut lele ini albino, meskipun begitu anggapan mengenai lele putih ini adalah sosok atau jelmaan tertentu sangat familiar dari bisik-bisik pengunjung lain.

Lele putih di dalam sendang

Menapaki Between Two Gates, Desa Simbol Kerukunan

Berjalan ke sudut lain, Bakpiaku menelusuri gang-gang kecil yang menjadi salah satu rute wisata yakni menuju Between Two Gates. Gang yang banyak menjadi spot foto yang estetik bagi wisatawan ini mampu memberhentikan langkah setiap yang melewatinya.

Bayangan Bakpiaku, karena banyak bangunan besar dan megah berdiri di Kotagede, maka pasti jalanan sekitar juga memiliki jarak atau space yang luas. Ternyata, hal ini cukup berbanding terbalik, jarak antara bangunan cukup sempit dan hanya cukup dilewati 1 mobil dan 1 motor bersamaan. Bahkan lebih dalam, gang-gang yang ada hanya cukup untuk dilewati motor saja.

Salah satu rute gang yang juga Bakpiaku lewati. Sumber : primahapsari.com

Meski begitu, tak membuat Bakpiaku kecewa bermain ke sini, sebab ternyata hal ini meningkatkan interaksi maupun hubungan baik dengan penduduk sekitar. Seperti menanyakan alamat atau sekedar menundukkan kepala dan saling tersenyum saat berpapasan satu sama lain, di sana lah kehangatan sosial terjadi. Hal lain yang juga Bakpiaku kenali adalah budaya untuk selalu memikirkan orang lain dan sekitar kita.

Kondisi geografis yang tidak memungkinkan pengguna kendaraan menyalakan motor dekat rumah-rumah warga meningkatkan perasaan untuk saling menghargai dan menghormati. Seperti 3 prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa dan Yogyakarta yakni Njawani, Ngayomi, Ngajeni. Di mana masing-masing memuat pedoman hidup yang memandu setiap manusia untuk dapat senantiasa kuat secara moral, sosial, hingga spriritual.

Njawani berarti perilaku yang mencerminkan unggah-ungguh dan kebudayaan Jawa di kehidupan sehari-hari. Ngayomi berarti perbuatan untuk saling memberikan perlindungan, kasih sayang, cinta, dan merangkul sesama manusia. Ngajeni berarti sikap saling menghormati pada orang tua maupun sesama.

Setelah melihat lebih dalam pengalaman di sela-sela Kotagede yang tak melulu membahas perak, pandangan dan khazanah semakin bertambah. Anda tak perlu membawa kendaraan besar ke sini, cukup berjalan kaki dan langkahkan diri menilik dengan asyik. Sebab banyak hal menarik pandangan Anda meski berada di bawah terik.

Share to: