Museum Wayang Beber Sekartaji : Pelestari Kertas Dluwang Kuno

Ceritane wayang jawing

Projo ngalengko dirojo

Rahwono rojo arane

Gawe geger nyolong shinto

Belum lagi sampai, suara lantunan Anoman Obong yang diputar melalui audio terdengar dari gang masuk. Bakpiaku tak berpikir panjang, langsung membelokkan setir ke kiri sebab sudah dapat dipastikan, sumber suara tersebut berasal dari Museum Wayang Beber Sekartaji Yogyakarta. Siang hari ini, Bakpiaku berencana untuk mengenal proses pembuatan kertas dluwang kuno.

Museum Wayang Beber Sekartaji

Dapat dipastikan, saat Anda membacanya pasti rasa bingung melanda. Kertas dluwang? Apakah, kertas dluwang ini apakah kerabatnya kertas lontar kuno yang kita kenal selama ini? Untuk itu, mari mengenalnya secara bersama-sama dalam tulisan ini.

Setelah menurunkan standar kendaraan, di halaman museum tersusun kursi-kursi plastik. Tak lama, Bakpiaku sudah disambut ramah oleh Mas Indra Sang Kepala Museum sekaligus pemilik museum yang diresmikan sejak 2017 silam. Ternyata, banyaknya kursi yang disusun adalah untuk kegiatan kunjungan dari Disdikbud asal Kalimantan Timur yang ingin belajar mengenai proses pelestarian budaya di Bantul ini. Museum ini adalah satu-satunya di Indonesia bahkan dunia yang secara khusus memiliki koleksi mengenai wayang beber.

Papan depan Museum Wayang Beber Sekartaji

Tentu saja ini jadi momen yang menyenangkan karena seperti tour bersama, dan Bakpiaku juga dipersilakan untuk membaur bersama teman-teman Disdikbud. Pasca dibuka secara mandiri oleh Mas Indra, sejarah mengenai kertas kuno ini diceritakan dengan sumringah.

Pengunjung dari Disdikbud

“Yang kita kenal selama ini hanya kertas lontar ya?” sapa sosok berbaju putih yang menggunakan udeng tersebut. Ternyata, kertas dluwang ini digunakan sudah sejak abad ke-7 di Indonesia oleh nenek moyang kita sebagai media penulisan naskah-naskah. Lebih dulu dari kertas lontar yang kita kenal.

Di atas meja, sudah disiapkan beberapa peralatan, bahan, dan contoh yang sudah dibuat sebelumnya agar pengunjung bisa dengan mudah melihat gambaran pembuatannya. Tak ingin kan bermalam selama sekitar 1 pekan untuk menjemur ataupun menunggu kertas kering berhari-hari di setiap runutan prosesnya?

Seperti Menguliti Kulit Singkong

Pertama, kita perlu menyiapkan kurang lebih 1 jengkal batang kayu dari Pohon Broussonetia Papyrifera atau daluang. Kemudian, kita perlu mengupasnya hingga menemukan lapisan ketiga atau isi dari batang tersebut. Pernah mengupas kulit singkong? Nah, seperti itulah kurang lebih gambaran bagaimana menguliti batang daluang ini.

Proses mengambil lapisan ketiga dari batang daluang

Contoh mengupas kulit singkong. Sumber : Metrobali

Ternyata, setelah diraba kulit dari pohon daluang ini bertekstur lembut dan elastis. Mungkinkah kulit singkong juga memungkinkan dibuat menjadi kertas seperti bahan kertas dluwang ini? Anda akan mencoba membuatnya?

Sebelum langkah kedua, Mas Indra melemparkan sebuah kalimat untuk tidak menggunakan isian batang yang anggaplah sebagai daging singkong. Sebab, penggunaan ini akan sama seperti pembuatan Belanda jaman dulu.

“Kalau orang Belanda itu dulu ya juga sama-sama pakai ini, bedanya mereka ini pakai yang bagian dalam. Dihancurkan, dibuat bubur, barulah dicetak jadi kertas. Tahan lama tidak? Jelas tidak, karena seratnya hancur” papar Kepala Museum Wayang Beber Sekartaji tersebut.

Penantian Dua Hari

Kedua, setelah mengambil kulit pohon daluang, maka Bakpiaku ikut merendamnya dan didiamkan dalam air selama 2 hari. Tentu saja Bakpiaku tak benar-benar menunggunya selama 2 hari, Mas Indra dan tim sudah menyiapkan kertas dluwang yang dibuat 2 hari yang lalu.

Baru kemudian, Mas Indra segera menempa atau “menggepengkan” agar bentuknya menjadi lebih pipih serta lebar. Jika menginginkan kertas yang lebih tebal, tumpuk saja kulit batang daluang sesuai ketebalan yang diinginkan. Dibutuhkan alat untuk menekan dengan keras, terdapat 2 jenis alat pipih yakni yang memiliki dasar berjarak besar dan kecil. Fungsinya juga berbeda, yang besar adalah untuk melebarkan sedangkan yang kecil untuk melembutkan tekstur dari kulit daluang.

Bawah alat untuk melebarkan dan atas alat untuk melembutkan

Dalam proses ini, terdapat teknik khusus yakni saat memukul-mukul kulit dengan alat harus dari tengah ke kiri atau tengah ke kanan supaya melebar. Menurut Anda, berapa kali pukulan yang diperlukan? Mas Indra sendiri bisa melakoninya hingga 1000 kali bahkan lebih.

Proses menempa kertas dluwang

Bungkus Dan Tutup Selama 3 Hari

Ketiga, ketika Bakpiaku sudah mendapatkan lebar maupun panjang yang diinginkan, maka berikutnya perlu dibungkus dalam daun pisang yang diikat rapat selama 3 hari. Proses ini disebut fermentasi. Tujuannya adalah mengeluarkan zat-zat atau kandungan yang terdapat di dalamnya.

Bakal kertas dluwang yang difermentasi

Penjemuran

Bila sudah disimpan hingga 3 hari, proses terakhir adalah menjemur di bawah sinar matahari langsung agar kertas kering. Menariknya, tak hanya dibentangkan di bawah panas melainkan dibalut dengan pelepah pisang terlebih dahulu.

Proses menjemur kertas dluwang

Nah, bila ingin digunakan maka haluskan dulu permukaan menggunakan keong. Keong di sini merupakan cangkang hewan seperti siput atau bekicot yang digesekkan di atas permukaan kertas. Ternyata, kertas dluwang ini memiliki kekuatan yang sangat baik loh, buktinya pemanfaatan kertas ini tak hanya sebagai pengganti buku atau media tulis menulis melainkan dibuat sebagai dompet atau tempat pensil.

Contoh kertas dluwang dalam bentuk gulungan

Dompet atau tempat pensil dari kertas dluwang

Proses yang sulit dan memakan waktu cukup lama ini terbayar dengan harga jualnya yang cukup tinggi. Penetapan harganya dihitung berdasarkan sentimeter, yang 1 cm dijual dengan harga Rp.75-90. Apabila hasilnya lebar dan panjang, tentu satu lembarnya dapat dibanderol hingga ratusan ribu. Meskipun dijual tinggi, peminat kertas dluwang ini masih banyak dari berbagai daerah di Indonesia. Apa Anda berminat membuat sekaligus memiliki kertas kuat dan kuno ini di rumah?

Share to: