Grebeg Syawal : Merayakan Kemenangan Dengan Gunungan
Biasanya setelah selesai melaksanaan 2 rakaat salat ied, mendengar khutbah, di hari yang fitri kita memohon maaf pada keluarga dan sanak saudara. Bila di banyak daerah, masyarakat muslim akan merayakan hari pertama Lebaran dengan makan besar atau langsung menghabiskan waktu bersama keluarga yang datang berkunjung, masyarakat Yogyakarta punya rencana ke tempat lain. Memang bukan ujung atau bersilatuhrahmi dari rumah ke rumah untuk bermaaf-maafan melainkan mengalap berkah dari Grebeg Syawal.
Selepas salat ied, tepatnya pukul 10.00 WIB sudah ada ribuan masyarakat yang antre di Alun-alun Utara. Grebeg Syawal ini hanya dilaksanakan setahun sekali tepat saat Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal. Mari kita beranjak sejenak mengenai bagaimana sejarah adanya agenda tahunan yang sudah berlangsung sejak Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan Hamengkubuwono X saat ini.
Sejarah Grebeg di Yogyakarta
Grebeg Syawal diperkirakan lahir dari adanya tradisi Jawa kuno bernama Rajawedha, tujuannya adalah ingin membagikan berkah demi terwujudnya kemakmuran untuk rakyat yang dipimpin. Berbagi berkah ini dilakukan dengan memberikan hasil bumi dalam bentuk gunungan tinggi atau piramida yang melalui proses penyusunan, pengarakan, pengupacaraan dengan harapan keberkahan, dan terakhir pembagian. Di Yogyakarta, tradisi ini dilaksanakan pertama kali oleh Sultan HB I.
Nah, bila Anda memiliki agenda untuk merayakan Lebaran dengan berlibur di Yogyakarta, pastilah akan melihat betapa megahnya kegiatan Grebeg Syawal dan bagaimana sambutan masyarakat yang besar. Selain massa yang datang berjumlah besar, ada sesuatu yang dinanti-nanti dan ditunggu sejak tadi, yaitu gunungan. Gunungan adalah tumpukan atau piramida yang disusun dari makanan-makanan baik berupa hasil bumi dan olahan tradisional misalnya onde-onde atau wajik kering.
Jumlah Gunungan yang dibuat selama Grebeg Syawal ini berjumlah 7 buah, yakni Gunungan Kakung sebanyak 3, Gunungan Darat, Gunungan Estri, Gunungan Gepak, dan Gunungan Pawuhan yang masing-masing berjumlah 1. Tumpukan hasil bumi ini kemudian dibawa oleh bregada, yang merupakan prajurit yang bertugas melindungi Kraton Yogyakarta.
Gunungan yang berbeda-beda di atas sepertinya membuat Anda bertanya-tanya, “apa bedanya?”. Perbedaan dari 5 jenis gunungan di atas didasarkan dari macam-macam hasil bumi atau makanan yang disusun di atasnya, atau disebut uborampe.
Berhimpitan Dalam Grebeg Syawal
Anda ingin merasakan seru dan antusias dari semangat masyarakat? Kini, tak perlu lagi masuk dalam pusaran rebutan. Setelah gunungan dilakukan upacara atau prosesi pembacaan doa pada makanan-makanan yang ada, siapa pun bisa dipersilakan mengantre.
“Kok tidak rebutan seperti dulu?”
Bila dulu proses pembagian dilakukan secara bebas dengan cara berburu sendiri, kini pihak Kraton Yogyakarta mengubah cara pembagiannya. Terbaru, seluruh masyarakat akan diminta antre di lokasi dan beberapa titik lain seperti Pura Pakualaman, Kompleks Kepatihan dan Ndalem Mangkubumen. Sebab, banyak kejadian pembagian berakhir ricuh, terluka, kehilangan barang, atau bahkan terinjak kerumunan.
Selain proses berbagi berkah tak menimbulkan kerugian, jangkauan penerima juga lebih merata dan banyak, serta menjadi simbol kesabaran. Anda tak perlu mengeluarkan kekuatan terbesar dan jiwa berkelahi, sebab situasi lebih kondusif. Tertarik ikut mengalap berkah?
Mendapat Hasil Gunungan?
Bila Anda salah satu yang berhasil mendapat bagian gunungan, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan. Seperti memakannya langsung, mengolahnya menjadi masakan bila berupa hasil bumi mentah, ataupun dijadikan pajangan dirumah.
Beberapa petani di Yogyakarta, menyimpan hasil grebegan dengan menaruhnya di sudut-sudut sawah miliknya. Dengan harapan dan doa bahwa keberkahan akan meliputi lahan tanamnya yang bebas hama dan hasil panen maksimal. Begitu pun dengan pedagang atau pengusaha.