Pagi itu Bakpiaku datang ke Remen Jawi untuk menghadiri kegiatan PitoeTur yang dilaksanakan di Jeron Beteng. Di pagi itu juga Bakpiaku sudah tampil berkain mulai dari kebaya, jarik, hingga kain yang diikat di pinggang yang mempercantik tampilan. Agenda hari ini adalah mengenal sisi lain yang ada di luar tembok megah Kraton dengan beberapa elemen mulai dari kuliner, wastra, wewangian, dan masih banyak lagi.

Pernah mencoba berkeliling dengan kebaya lengkap ke gang-gang kecil di Jogja? Bakpiaku merekomendasikan budaya wastra ini untuk masuk dalam daftar kegiatan Anda di Kota Budaya. Hari itu cuaca sangat cerah, saking cerahnya pukul 10.00 WIB pun matahari sudah seperti siang hari. Agar tak kepanasan, Bakpiaku dan teman-teman lain yang hadir berjalan dengan menggunakan payung. Ah, semakin cantik!

Jeron Beteng

Siapa yang tahu nama tempat ini? Jeron Beteng adalah pemukiman yang dulunya memang dihuni oleh pada abdi dalem Kraton. Titiknya persis berada di luar tembok besar dan tinggi milik tempat tinggal para raja dan keluarganya. Kedekatan jarak setiap rumah seakan menggambarkan kedekatan hubungan sosial yang terbangun di sekitarnya.

Kini sudah banyak profesi yang dilakoni para generasi atau keturunan dari abdi dalem Kraton beralih pada bidang lainnya. Meski begitu Jeron Beteng tetap dikenal dan melekat dengan sejarah pemukiman sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Sumber : krjogja.com

Nasi Megono

Perjalanan yang cukup menguras kandungan air dalam tubuh karena siang semakin terik, serta titik-titik lainnya yang dapat Anda baca di artikel berikut. Karenanya, Bakpiaku menunggu untuk dapat segera sampai di Remen Jawi dan melepaskan penat. Siapa sangka sudah ada sosok tua renta dengan kebaya, berkonde, dan mengenakan jarik yang diwiru menyuguhkan segelas minuman segar, dipanggil Mbah Uti, beliau adalah salah satu abdi dalem Kraton Yogyakarta, loh!

Setelahnya kami sudah diperlihatkan menu dalam tampah bambu berupa nasi dan ingkung ayam. Dengan banyak kondimen tambahan seperti urap, sambal, dan telur menu ini disebut Nasi Megono. Rasanya bagaimana? Mari Bakpiaku ceritakan!

Nasi Megono buatan Mbah Uti

Secara rasa, kami sangat menikmati menu sederhana ini karena rasanya yang sangat balance. Dari ayamnya yang penuh rempah dan terasa lembut, lalu ditambahkan sayur yang memberi sensasi segar serta kriuk karena dibuat tak terlalu lembek, protein lainnya dari telur, serta sambal yang pedasnya pas. Hari itu Bakpiaku benar-benar merasa seperti di surga dunia, masakan Mbah Uti juara!

Seporsi nasi megono

Makna di Dalamnya

Ternyata, perjalanan wisata berbudaya bersama Remen Jawi belum usai, karena sepanjang pra hingga pasca menikmati nasi megono Mbah Uti menjelaskan banyak filosofi. “Ayam ingkung itu harus menggunakan ayam jantan” jelas Mbah Uti, “kenapa ayam jantan mbah?” tanya salah satu dari kami. Jawabannya adalah karena pembuatan ingkung ini menaklukan sifat buruk dari ayam jantan yang maunya menang sendiri hingga sombong.

Pembagian nasi bersama Mbah Uti

Kemudian mengenai penamaan nasi megono berasal dari mergo ono yang sesuai dengan proses prihatin di jaman dulu atas keterbatasan bahan pangan. Menarik sekali bukan?

LEAVE A REPLY

Your email address will not be published . Required fields are marked *