Jauh sebelum malam itu, pengumuman pementasan “Mawayang” dengan 14 jenis wayang di Balai Budaya Minomartani sudah dipublikasikan hingga media sosial. Dengan udara yang cukup dingin, musisi atau pemain rebab mulai menjajal atau sound check untuk memanggil penonton yang masih santai menunggu pentas mulai dari kejauhan. Dekorasi yang serba merah khas seperti momen-momen perayaan China seperti Imlek menggambarkan semangat dan keberanian di tengah sore menjelang malam.

Berbekal satu gelas teh hangat yang dibeli di pedagang kaki lima sekitar, Bakpiaku bersiap untuk menyaksikan bagaimana Wayang Potehi dimainkan. Sudah pernah mendengar nama wayang tersebut? Sepertinya memang tidak sepopuler Wayang Kulit. Sebagai gambaran, bentuk dan visual dari wayang ini mirip dengan golek, bedanya tentu dari wajah karakter hingga pakaian yang dikenakan.

Bila biasanya wayang dipentaskan dengan bahasa daerah seperti Jawa atau Sunda, Wayang Potehi berbeda. Ternyata tetap menggunakan Bahasa Indonesia dengan aksen China. Sangat menyenangkan didengar dan lucu begitu pun cerita yang dibawakan, hanya saja terdapat beberapa bahasa selingan yang seperti Hokkian.
Wayang Potehi untuk Dewa
Dilansir dari laman Kompas TV, sebelum digunakan untuk media hiburan bagi para tahanan menanti hukuman, pentas wayang dilaksanakan untuk persembahan bagi para dewa di klenteng. Berupa rasa syukur, bahagia, dan ucapan terima kasih.
Dulu pada tahun 1950, untuk memainkan wayang ini harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan baru dapat bebas dimainkan kembali pada tahun 2000. Setelah sempat berkembang dan populer, kini Wayang Potehi meredup dan hanya ditampilkan saat-saat khusus saja seperti Imlek.

Kelir Khusus dan Cerita Unik
Bila biasanya wayang dimainkan dengan efek bayangan dengan kelir datar berwarna putih, Wayang Potehi memiliki panggungnya sendiri. Benar-benar seperti rumah yang di dalamnya diisi boneka hingga kursi dengan warna khas merah dan emas.
Ceritanya sendiri mengisahkan legenda-legenda kepahlawanan yang berasal dari Tiongkok, unik bukan? Dengan nada yang terdengar seperti orang Tiongkok asli yang mencoba mengucapkan Bahasa Indonesia, musik-musik tanpa gamelan, serta gerakan wayang yang lucu disertai dagelannya.

Karena sangat berbeda dari Wayang Kulit dan belum umum dikenal, tak sedikit penonton umum yang ikut penasaran. Bahkan penontonnya sangat ramai dari anak-anak yang ikut tertawa hingga saling memukul bahu temannya lantaran keasyikan menyimak cerita.
Bersama Ki Widodo Santoso selaku dalang yang memainkan, beliau membagikan harapan mengenai pelestarian budaya Wayang Potehi untuk generasi muda sebagai penerus. Terima kasih Ki Widodo yang terus berupaya melestarikan wayang yang tak hanya sebagai hiburan, tetapi juga media membagikan pesan moral!

LEAVE A REPLY