Menyorot Lampu ke Kuliner Gudeg Malam di Yogyakarta
Kursi-kursi bulat tanpa sandaran renggang di depan bangunan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta untuk diduduki saat malam sudah larut. Bagi sebagian besar orang, kosongnya tempat tersebut dianggap sebagai “gilirannya” sebab 0 KM tak pernah sepi setiap harinya. Akhir pekan ini, Bakpiamu berencana untuk menghabiskan waktu sejak sore hingga dini hari dan pemberhentian terakhir adalah titik 0 Jogja.
Bakpiaku menikmati wisata Situs Warungboto yang terletak di Kecamatan Umbulharjo. Situs ini merupakan bangunan yang dulunya adalah pesanggrahan raja dan keluarga keraton. Di dalamnya, terdapat TUK atau mata air yang digunakan sebagai sarana pemandian, namun kini mata air tersebut tak mengalir lagi. Bangunan yang berdiri ini memberikan nuansa magis, tenang, dan megah. Seperti sebuah benda yang bercerita tanpa suara, Bakpiaku menangkap perasaan dan membayangkan suasana mengenai bagaimana situs ini dulunya hidup. Sontak, perasaan berdebar dan pandangan menelaah setiap sudut dan mencari bagian mana yang menunjukkan tanda revitalisasi pasca gempa besar 2006 silam. Sore hari sekitar jam 16.00-17.00 WIB, adalah waktu yang pas menikmati Situs Warungboto ini.
Mengapa pilihan kami beranjak di waktu sore hingga dini hari? Seperti yang kamu tahu, siang hari cuaca sangat terik. Saat senja, suhu dan sengatan matahari perlahan melunak dan memudar seiring tenggelamnya surya. Setelah berjalan-jalan, mengisi tenaga adalah hal yang perlu dilakukan. Tentu, ke Kota Gudeg rasanya akan gelo jika tak mencicipi masakan manis yang terbuat dari nangka muda. Yap, gudeg namanya! Kemana kita akan menyuap mulut dengan kuliner khas tersebut?
Gudeg Pawon
Tak jauh dari Situs Warungboto, sekitar 1,1 KM atau 3 menit menggunakan kendaraan bermotor. Bakpiaku mengayuh perlahan pedal sepeda, untuk merasakan pengalaman sederhana dan ramah lingkungan. lokasi Gudeg Pawon ini ada di Jl. Prof. DR. Soepomo Sh UH/IV No.36, Warungboto, Kec. Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55164. Perut sudah sangat lapar, singgahlah kami menuju Gudeng Pawon. Namanya adalah gambaran penyajian dan pembuatan masakannya, betul sekali, di dapur. Tempat makan yang terkenal dan disebut “legend” ini menyajikan gudeg yang bisa langsung diambil sendiri. Di mana? Di dapur.
Istilah legend ini lekat dengan tahun berdirinya yakni sejak 1958 yang dirintis oleh Prapto Widarso. Dari ruangan yang menjadi lokasi memasak, Bakpiaku langsung menuju ke dalam. Rahasia dapurnya ditunjukkan begitu saja, mulai dari tungku-tungku untuk memasak dengan kayu sebagai bahan bakar, hingga dandang yang digunakan sebagai wadah. Bayangkan saja saat kamu lapar dan langsung pergi ke dapur nenek di kampung, rasanya seperti pulang ke rumah, padahal kamu sedang berada di kedai atau warung.
Giliran makan dan memilih saat langit sudah gelap
Bila dulu buka mulai jam 22.00 WIB, kini jam buka terbarunya adalah pukul 17.00 WIB. Pas sekali dengan jam selesainya Bakpiaku berkunjung dari Situs Warungboto. Meski datang tak lama dari jam buka, antrian sudah mengular cukup banyak. Sabar adalah kunci untuk bisa menikmati sajian lokal yang lezat ini. Bakpiaku mendapat giliran makan dan memilih saat langit sudah gelap.
Untuk menu, tinggal pilih saja ingin apa. Supaya tak bingung dan puas menikmati, Bakpiaku tanpa berpikir langsung mengatakan “paket komplit mawon bu”. Dalam satu piring gudeg komplit, berisi nasi, telur, gudeg, krecek, dan ayam. Rasa manis, pedas, dan gurih dari setiap kondimen benar-benar menebus perjalanan wisata sejarah yang baru saja selesai. Ditutup dengan jeruk hangat, perut benar-benar lega.
Setiap bagiannya pas, dan diselaraskan dengan nasi putih hangat. Dapat dipastikan, setelah memakan menu tradisional ini akan bertenaga dan riang gembira. Apakah kamu sudah mencobanya?
Berjalan-jalan
Bakpiaku meneruskan perjalanan setelah cukup mengisi perut dengan bersepeda hingga ke tengah kota. Selama perjalanan, rute yang ditempuh memang sengaja tak melalui jalan besar melainkan jalan kecil. Menikmati toko dan muda-mudi yang berjalan atau berkumpul bahagia sembari menuntaskan tugasnya sebagai pelajar atau mahasiswa di kedai-kedai.
Yogyakarta memang tak banyak memiliki jalan buntu, hampir semua jalan akan terhubung satu sama lain. Cerita unik datang dari wilayah Pogung yang berada di Sleman. Konon katanya, kalau masuk ke area ini kamu akan sulit menemukan jalan keluar. Mungkin ini ada kaitannya dengan banyaknya jalan yang tersambung dan menjadikan setir bergerak ke banyak arah hingga kita kebingungan.
Gudeg Mercon Bu Tinah
Setelah selesai berkeliling, pukul 21.40 WIB Bakpiaku melewati jalan Kranggan dan menyaksikan barisan banyak orang berjejer rapi. Mengantre apa? Seluruh dari mereka menghadap 1 arah, sebuah warung yang berada di pinggir jalan yang masih tutup!
Ternyata, Gudeg Mercon Bu Tinah namanya. Persis berada di Jl. Asem Gede No.8, Cokrodiningratan, Kec. Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55233. Salah satu gudeg favorit pecinta kuliner pedas, sebab gudeg ini tak dominan manis, melainkan pedas. Wah, kabar yang baik bukan? Biasanya perantau atau wisatawan tak memiliki selera sama perihal makanan manis khususnya sebagai lauk atau pendamping nasi. Biasanya lauk akan terasa gurih asin, pedas manis, atau pedas saja. Sedikit sepertinya makanan berat pendamping nasi yang bercita rasa manis di luar Jawa Tengah dan Jogja.
Pantas saja, semuanya mengantre dengan antusias. Bahkan, setelah sempat bertanya mengenai jam berapa warung ini buka, ternyata masih lebih dari 30 menit. Perasaan ini mulai goyah, apakah tenaga yang sudah cukup lelah berputar naik sepeda ini juga perlu mengantre?
Lebih baik menyesal membeli, dari pada menyesal tidak beli.
Pernah dengar kalimat marketing seperti itu? Bakpiaku salah satu yang memilih membeli, bagaimana kalau besok sudah kembali bekerja dan tak sempat ke sini lagi? Tak lama, langkah kaki ikut berdiri di antara bapak ibu bahkan muda mudi. Penjualnya adalah generasi kedua dari Bu Tinah dan mulai berjualan sejak 1992.
Dalam satu porsi paket komplit, terdapat gudeg, krecek, tempe mercon, telur, ayam suwir, tahu, sate ayam, dan siraman kuah santan. Sanggup menghabiskan? Tentu! Jangan sia-siakan waktu yang telah diluangkan untuk mengantre hingga 1 jam lamanya, karena pasti akan menyesal. Benar saja, rasa ini cocok untuk kamu yang suka pedas dan gudeg kering tak tak terlalu manis. Isi piring yang penuh dan melimpah, pas untuk kamu yang sangat lapar.
Diet besok saja! Karna mengonsumsi menu yang cukup “berat” di malam hari saat perut sebaiknya istirahat dari pengolahan menjelang tidur malam. Sesekali tak masalah, asal imbangi dengan olahraga dan kebutuhan nutrisi lain yang juga diperhatikan.
Tak terasa, satu piring sudah habis. Tujuan akhir yakni titik 0 KM harus segera disambangi. Pembeli juga sudah berganti-ganti sejak tadi. Terima kasih Jogja, malam dan makananmu sangat nyaman dan hangat untuk dirasakan. Tak hanya rasanya, orang hingga suasananya membuat siapapun merasa layak untuk lega sejenak dari bisingnya kehidupan dunia.