Angkringan : Sejarah Ruang Publik Sederhana di Jogja

Mengenal Angkringan

Bakpiaku.com-“Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”, ungkapan yang meromantisasi suasana dan kehidupan di Jogja tersebut terkenal di mana-mana. Walau sebuah kiasan, namun tempat makan di sudut kaki lima ini selalu tinggi peminatnya. Di bawah kursi kayu dan tenda atau terpal di pinggir jalan, terlebih saat malam hari adalah bagian sederhana yang selalu dinanti.

Tempat favorit banyak kalangan khususnya menengah ke bawah ini selalu diburu terlebih saat akhir bulan. Harganya yang terjangkau dan pilihan menu beragam ini membuat lokasi mengisi perut ini bersahabat dengan isi dompet. Bahkan bisa menyelamatkan seseorang dari kelaparan berbekal koin yang dikais dari kantong-kantong celana.

Sebuah tempat bertemu baik untuk makan, berdiskusi, bahkan membuat gagasan gerakan dari akar rumput. Sebuah tempat sederhana ini nyatanya berhasil menjadi tujuan publik bertemu dan menghabiskan waktu berjam-jam membahas apapun sekenanya. Kesederhanaannya menyulap orang-orang untuk bisa merasakan ketenangan barang sejenak.

Sejarah Angkringan

Angkringan nyatanya menyimpan sejarah panjang hingga akhirnya populer di Jogja. Yap, tempat makan ini bukan sesuatu yang berasal dari Kota Budaya. Faktanya, tempat nangkring ini berasal dari Klaten, Jawa Tengah.

Mbah Karso yang berasal dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten ini merantau di tahun 1930 menuju Kota Surakarta. Sosok tua ini menapaki Surakarta dengan berjualan terikan, sebuah masakan khas dari Jawa Tengah yang berisi lauk tempe dan daging dengan kuah kental. Di tahun 1943, dirinya terpikir untuk turut memikul kopi dan jahe sambil berjualan terikan.

angkringan tempo dulu
Angkringan tempo dulu
(Gambar : IDN Times Jogja)

Berwadah ketel, pelopor angkringan tersebut berkeliling menjajakan dagangannya. Dulu, angkringan bukan seperti yang kita kenal saat ini berada di gerobak. Hingga akhirnya produk dan gaya berjualan tersebut populer di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta dan menjamur di tahun 1950.

Terdapat perbedaan penyebutan angkringan di Yogyakarta dan Surakarta. Bila di Jogja umum disebut warung kucing, sedangkan di Surakarta kedai tersebut disebut hik atau dibaca hek.

Kemudian, mengapa banyak orang berpikir kalau angkringan berasal dari Jogja? Hal ini dikarenakan banyaknya pelajar dan mahasiswa yang datang untuk belajar serta mendatangi angkringan mengobati lapar. Menjamurnya angkringan di Yogyakarta juga memicu lekatnya tempat angkring ini bagi sebagian besar masyarakat hingga pendatang.

Lalu, di tahun 1975 pelaku usaha angkringan merombak cara berjualannya dengan menggunakan gerobak, lampu teplok, kursi dan meja, hingga tungku lebih besar untuk menghangatkan ketel atau ceret.

Menu-menu Khas Angkringan

Menu yang dijajakan di gerobak kayu sederhana ini cukup banyak, umumnya berupa bagian tubuh ayam yang diolah dengan bumbu bacem. Seperti sate ati, sate usus, sate kulit, kepala ayam, sayap, ceker, beberapa gorengan seperti tahu tempe, nasi sekepal dengan lauk, dan minuman yang menghangatkan seperti wedang jahe maupun kopi panas.

Dibanderol mulai dari Rp.1.000 untuk gorengan, namun hingga saat ini masih terdapat beberapa pelaku usaha angkring yang menjual gorengan di harga Rp.500 saja, sangat murah ya?

Rekomendasi Angkringan di Jogja

Menemukan angkringan di Jogja tidak sulit, biasanya tersebar di pinggir jalan besar hingga gang-gang kecil di komplek. Saat ini, banyak angkringan yang berinovasi baik dari bentuk gerobak yang dibangun seperti cafe untuk kuantitas pelanggan yang lebih besar, diiringi musik untuk hiburan, hingga tambahan menu lain seperti tempura dan lauk nasi yang beragam.

Rekomendasi angkringan di Yogyakarta dari yang berkonsep kaki lima, menengah, hingga modern mirip resto sudah berkembang dan menjamur. Berikut adalah beberapa di antaranya : 

1. Angkringan Lik Man 

Untuk Anda yang ingin mencicipi sensasi ngangkring dengan kopi jossnya yang terkenal, datangi tempat ini. Masih menggunakan gerobak, menu yang disajikan juga beragam khas masakan Yogyakarta. Sembari menikmati suasana Kota Budaya sore hari, pilihan yang tepat.

Berlokasi di : Ps. Kranggan, Jl. Poncowinatan No.7, Gowongan, Kec. Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55232 – Lihat peta

2. Angkringan Kebon Yogyakarta

Masih dijual di atas gerobak, namun lebih modern untuk menampung pelanggan hingga kurang lebih 30 orang. Di angkringan ini, menu yang disajikan lebih beragam seperti tempura, sambal pedasnya yang berani bumbu, juga tentu saja wedang jahe yang pedas dan wangi. Disediakan gitar yang bisa dipakai bergantian, permainan kartu, wifi gratis, dan buku yang bisa dibaca di tempat.

Berlokasi di : Jl. Nogopuro No.2, Ambarukmo, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 – Lihat peta

3. Pendopo Lawas 

Pendopo Lawas adalah angkringan yang modern, selayaknya cafe namun menu yang disediakan masih tradisional. Pilihannya minuman racikan seperti jahe hingga yang instan, kemudian pilihan snack seperti roti bakar, bahkan menu berat brongkos koyor tersedia. 

Dengan kapasitas kurang lebih 200 orang, pembeli yang datang tak hanya untuk makan. Betah berlama-lama untuk nongkrong, diskusi, hingga mengerjakan tugas.

Di sini juga biasanya menampilkan musik langsung, salah satu penyanyi yang terkenal sering tampil di Pendopo Lawas adalah Tri Suaka.

Berlokasi di : Alun-Alun Utara, Panembahan, Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55131 – Lihat peta

Angkringan Populer di Kota Besar

Tak hanya di Kota Istimewa, angkringan juga populer di kota besar lain. Di Jakarta misalnya ada Angkringan Jasmedah yang berlokasi di  Jl. Jengki, Cipinang Asem No 07, Kebon Pala Jakarta Timur, Kec. Makasar, Kota Jakarta Timur (Lihat peta). Spot makan ini ramai dikunjungi muda-mudi saat malam hari. 

Bukan hanya populer di Pulau Jawa, angkringan juga ditemukan di Sumatera Utara, tepatnya di Medan.

Angkringan Wak Jay berlokasi di Jl. Gatot Subroto, Sei Sikambing D, Kec. Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara, (Lihat peta)

Dengan permintaan dan tren konsumen yang dinamis, angkringan juga kian inovatif dan kreatif. Beberapa unsur seperti variasi menu, penyediaan tempat nyaman, layanan, hingga teknik marketing yang populer dilakukan seperti mengundang band agar menjadi magnet bagi anak muda.

Kini, sejarah yang dimulai oleh Mbah Karso asal Klaten merebak di berbagai penjuru daerah. Di tengah banyaknya suguhan makanan baik tradisional hingga modern, semangat untuk mempertahankan dan menyajikan cita rasa khas Jawa terus berkembang. Meski wajah yang ditampilkan kian berbeda, peminat untuk terus ngangkring di titik makan merakyat ini nyatanya tetap bertahan.

Share to: