Artjog 2024 : Bumi Berteriak, Kita Mendengarnya?
Bakpiaku.com – Artjog 2024 masih digelar hingga 1 September 2024, masih ada yan belum merapat? Salah satu ornamen menarik yang ditempel pada ruangan pertama pameran adalah telinga. Sebagai salah satu bagian tubuh yang berfungsi sebagai indera pendengaran, sudahkah kita menggunakannya dengan baik? Oke, coba kita mulai dari pertanyaan sederhana seperti, “Informasi apa yang tidak bisa kita akses hari ini?”.
Jika jawabanmu adalah “semua bisa diakses”, mari kita rayakan kemudahan itu bersama-sama sembari membahas ironi bumi ini. Dari ribuan bahkan jutaan artikel atau pesan yang diproduksi setiap harinya di internet mengenai krisis, kekacauan dunia di masa depan, hingga apa yang mengancam hari-harimu esok dan seterusnya, belum cukup untuk membuat manusia sadar. Perubahan cuaca, mengetahui kota mana di dunia yang punya polusi terparah, sampai melihat turunnya kualitas tempat kita tinggal hari ke hari.
Atau sederhana lagi, kopi kesukaanmu bisa melambung tinggi harganya karena krisis iklim, menyulitkan petani, dan pastinya semua penikmat kopi. Ke depan, biji pahit tersebut akan menjadi permata, yang hanya akan disuguhkan pada meja orang-orang kaya.
Salah Siapa?
Bukan bermaksud mengarah pada dramatisasi, namun sepertinya tidak hanya satu atau dua orang yang mengalami tanda erangan planet biru ini. Kita semua tahu, merasakannya, tapi berpura-pura tak mendengarnya. Yang satu merasa muda usianya sehingga lingkungan adalah urusan yang tua. Sedang yang satu lagi merasa hidupnya tak lama, lalu sekenanya membagikan warisan rusak pada yang belia.
Artjog 2024 dengan tema “Motif : Ramalan” menyentil telinga kita yang enggan dipakai mendengar itu untuk membuka gendangnya. Melalui karya dari hasil kerja sama antara 48 seniman dewasa, individu, kelompok, hingga anak-anak. Instalasi yang megah juga sarat makna atas hubungan motif ramalan penujum dan lingkungan, mengusik lingkaran setan kenyamanan setiap kepala. Semua peristiwa tragis, diawali dari sifat manusia yang bengis.
Dengar Mantranya Di Artjog
Kembali pada telinga, dalam ruangan lantai 1 Artjog Yogyakarta, selain disuguhi koleksi yang dibawa langsung dari daerah, musik seperti mantra juga menemani kita merefleksikan diri sebagai manusia. Mantra yang biasa disyairkan saat pra, proses sampai panen tiba patut diamalkan sebagai simbol dalam memanfaatkan alam dengan arif, tanpa bersikap eksploitatif. Kita diajak aktif mendengar, merasakan, dan bertindak. Itu adalah sejatinya kita sebagai manusia. Makhluk paling berakal di bumi, yang memiliki pekerti serta nurani.
Seperti Malin Kundang yang durhaka, kita semua bisa sama seperti batu. Tau batu? Benda yang berdiam diri di tempat, tahu tapi tidak berbuat apa-apa. Silahkan pilih posisimu, sama dengan batu atau makhluk hidup yang mau mengawali perubahan lewat sesuatu. Mari jadikan pameran tahunan di Yogyakarta ini ajang belajar dan terus berbenah dalam melihat masalah.
Silakan menyebar dan menebar kebaikan pada lingkungan sesuai peran. Gunakan perspektif manusia dan alam, menuju kehidupan dan ekosistem masa depan lebih berdaya tahan.