Tari Klasik : Olah Jiwa Lewat Budaya Yogyakarta
Bakpiaku.com – Tari klasik mungkin tidak setenar dan familiar dibandingkan tari tradisonal yang berkembang berdasarkan kreasi. Tari kreasi yang sama-sama digemari di Yogyakarta biasanya memiliki modifikasi walau masih mengacu pada pola tradisional. Perbedaan yang paling mencolok adalah pakem gerakan dan ketentuan mengikat yang berlaku di kedua jenis tarian tersebut.
Tari klasik sendiri sudah ada sejak jaman Kesultanan Yogyakarta. Beberapa jenis tari klasik bahkan diciptakan oleh Sultan Hamengkubowono I di masa pemerintahannya, dikarenakan kecintaannya pada tari sangat tinggi. Tarik klasik yang diciptakan beberapa diantaranya seperti Beksan Lawung, Beksan Etheng, dan dramatari Wayang Wong.
Tari Klasik di Museum Sonobudoyo
Seiring perkembangan tari baik tradisional maupun modern, upaya untuk terus melestarikan tari klasik tak hanya dilakukan oleh pihak Keraton Yogyakarta. Museum Sonobudoyo memodifikasi program museum pada bidang tari dengan membuka kelas gratis. Cukup dengan menunjukkan tiket, pengunjung Museum Sonobudoyo dapat mengikuti kelas tersebut di ruang Pendopo Timur.
Dengan jadwal setiap Sabtu pukul 09.00-12.00 WIB dan Minggu 13.00-15.00 WIB pengunjung akan diberikan materi awalan berupa beberapa gerakan dasar, seperti ngruji. Gerakan melipat ibu jari dan merapatkan keempat jari lainnya nampak mudah namun ternyata cukup menguras energi, sebab lekukan dan kekuatannya diperhatikan. Keluwesan tubuh untuk mengatur gerak tubuh agar seimbang dan pernapasan selama menari tidak dapat selesai hanya dengan belajar beberapa bulan.
Tak heran jika tari klasik merupakan salah satu bentuk olah jiwa, selain kesabaran, fokus, hingga kendali diri menjadi salah satu insight di dalamnya. Di dalamnya juga tersimpan falsafah hidup, terdapat empat unsur yakni sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.
Sawiji diartikan sebagai fokus, konsentrasi tinggi namun penuh ketenangan. Sedang greged adalah semangat yang terkendali dan kesungguhan untuk mencapai tujuan. Sengguh artinya percaya diri tanpa kesombongan, dan terakhir ora mingkuh artinya ketangguhan juga rasa tidak berkecil hati saat mengalami kesulitan.
Sanggar Siswa Among Beksa
Bersama dengan warisan budaya ini, kemampuan individu untuk dapat mengelola diri mulai dari emosi hingga tindakan sangatlah berpengaruh. Jessica, sebagai pelatih kelas tari klasik yang ditemui di Museum Sonobudoyo menyarankan untuk mendatangi Sanggar Siswa Among Beksa bila masyarakat umum ingin mempelajari gerak tubuh gaya Yogyakarta secara mendalam.
Dengan sistem semester, siswa sanggar tersebut akan menjalani ujian di Keraton Yogyakarta untuk memperoleh kelulusan. Tentu saja hal ini mendukung pelestarian budaya yang sesuai dengan pathokan keraton dan menelurkan praktik budaya sesuai dengan awal mula penciptaannya.